Header Ads

Tuesday, April 15, 2008

CERPEN


NARSIH


Dua tahun sudah aku berpisah dengan Narsih dan dua tahun aku tidak lagi menginjakkan kakiku di desa pesisir laut selatan ini. Ini untuk yang pertama kalinya aku kemari lagi sejak perpisahanku dengannya. Banyak yang telah berubah, sekarang pesisir ini lebih ramai, banyak wisatawan yang datang berkunjung tidak hanya dari dalam kota namun juga datang dari luar kota. Rumah Narsih juga sudah berubah, dulu dindingnya yang hanya terbuat dari anyaman bambu, sekarang berdinding tembok berwarna-warni cerah --kuning, jingga dan biru muda. Awalnya aku mengira sudah berganti pemilik, aku singgahi rumah itu untuk memastikan siapa pemiliknya. Sesosok perempuan separuh abad yang sangat aku kenali wajahnya menyambutku ramah, tak banyak yang berubah, hanya penampilannya yang tampak berbeda, kini pakaiannya tampak lebih baik dan lebih bersih, sebuah rantai kecil berwarna kekuning-kuningan melingkar di lehernya, beliau adalah orang tua Narsih. Kehidupan keluarga Narsih kini telah berubah, sepertinya lebih baik, mungkin Narsih telah mendapatkan pekerjaan yang layak di Jakarta.

Setahun aku tidak mendapat kabar berita lagi tentang dirinya, setahun pertama dia masih rajin berkirim surat, setahun kemudian berhenti tak ada kabar. Berkali-kali aku kirim surat untuknya namun tak pernah ada balasan. Kini aku sedikit tahu bahwa Narsih telah mendapatkan apa yang dia impikan, aku ketahui dari cerita ibunya, dari perubahan-perubahan yang terjadi pada rumah dan penampilan ibu serta adik-adiknya, dan kata ibunya bahwa Narsih baik-baik saja. Namun aku merasakan masih ada yang belum diceritakan, ada sesuatu yang masih di sembunyikan oleh ibunya, sesuatu yang tidak pantas dan tidak boleh aku ketahui. Haruskah kuketahui semua tentang Narsih? Siapa aku? Tidak harus aku ketauhui semua tentang dirinnya.


*****

Melangkahkan kaki di jalan menanjak dan menurun, di atas kerikil dan bebatuan gunung. Aku berjalan sangat berhati-hati, mencari celah aman untuk menapakkan kaki. Angin laut berhembus, meraba-raba tubuhku, memberikan kesejukan disaat matahari tepat berada di atas kepalaku. Suara klakson dari arah belakangku memberi aba-aba agar aku segera menepi, sebuah mobil hitam mewah melitas di sampingku, mobil itu merambat pelan dan sangat berhati-hati. Sepertinya mobil itu datang dari Jakarta, aku ketahui dari No Polisi yang digunakannya diawali huruf ‘B’. Di lihat dari merek dan jenis mobilnya, aku menduga pemiliknya pasti orang kaya, kalo tidak pejabat mungkin pengusaha, mungkin juga seorang selebritis, ah…siapapun dia aku tidak perduli. Jalan yang aku lewati ini adalah satu-satunya jalan menuju ke bibir pantai, dan pasti ke pantai karena jalan ini tidak menembus kearah manapun. Mobil mewah tadipun pastinya menuju ke pantai.


***

Akhirnya sampailah aku di bibir pantai yang terletak di daerah Selatan Kabupaten Gunung Kidul ini. Aku putuskan untuk beristirahat sejenak, ku rebahkan tubuhku di atas pasir, menikmati hembusan angin, menatap samudara yang menghampar bagai permadani biru, gemuruh ombak memainkan melodi alamiahnya,aku membatin inilah dramaturgi Sang Maha Agung, sebelum nantinya aku lanjutkan dengan mengabadikan keindahan alam di sekitar pantai, yang di kelilingi bukit-bukit karang dengan camera digital yang sudah aku persiapkan sebelum aku menuju tempat ini.

Tanpa kusadari bayangan Narsih kembali hadir di ingatanku, seorang perempuan desa berambut hitam lurus, bolamatanya yang bulat berwarna hitam dengan alisnya yang tebal, hidungnya mangir, senyuman bibir tipis Narsih mampu membuat pemuda kampung pesisir lupa daratan, apabila ia orang tua atau sudah berkeluarga, seketika ia lupa jika di rumah ada perempuan yang telah di peristri. Narsih adalah bunga desa di pesisir pantai. Aku berkenalan dengannya dua tahun yang lalu, saat aku melaksanakan salah satu program wajib dari kampus, yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN). Rumah Narsih posisinya tepat berada di depan rumah dimana aku dan teman-temanku memondok. Entah mengapa, pada pandangan pertama aku langsung jatuh cinta padanya. Puncuk di cinta Narsih menerima cintaku. Pemuda kampung pesisir menganggap aku lelaki beruntung karena dicintai Narsih, menurut mereka Narsih sangat sulit jatuh cinta apalagi kepada orang asing seperti aku. Aku sendiri tidak tahu mengapa dia bisa jatuh cinta padaku.

Hampir tiap hari kami menghabiskan sore di bibir pantai ini, menikmati siraman cahaya berwarna jingga, mengumpulkan kerang-kerang kecil dan dengan lentik tangan Narsih meramu kerang menjadi kalung dan gelang. “Ya, gelang yang aku kenakan ini buatanmu Narsih”. “Dan di bibir pantai ini pula kau menangis di pelukanku, matamu sangat basah, wajahmu yang kuning langsat basah karena air matamu, air mata pertama dan sekaligus terakhir yang pernah aku lihat keluar dari kelopak matamu, sejak perpisahan kita”. Disaat cinta mulai tumbuh dengan subur kami dipaksa menghadapi kenyataan perpisahan, entah kapan lagi bisa bertemu dan menikmati suasana seperti ini.

berjanjilah, jangan pernah kau lupakan aku mas” ucapmu lirih tepat di balik telingaku. “dan akupun tidak akan pernah melupakanmu mas, aku janji”. Ucapmu.

Aku tatap matanya yang basah oleh air mata. Aku tahu dia sangat mencintaiku, tak ingin berpisah denganku, aku tahu itu. Aku tak mampu lagi menahan air mata, aku hanyut dalam suasana. Mengapa harus harus sesingkat ini kebersamaan kita? Mengapa harus ada perpisahan? Mengapa aku tak sanggup membantumu Narsih? Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku.

Dan kau pun harus janji padaku Narsih, kau harus sering-sering kirim kabar ke Jogja, mungkin hanya itu obat rinduku padamu”. Kataku sore itu.

Bukankah rumahmu di Jakarta mas, kau bisa temui aku bila masa liburmu tiba”.

Iya, aku akan menemuimu di Jakarta, tapi nanti bukan disaat liburan. Kau tahu, aku tidak akan kembali ke Jakarta sebelum aku memperoleh gelar kesarjanaanku”. Kataku dengan berat hati.

iya mas, aku paham”. Katamu lembut sekali.

Dari wajahnya yang mulus, bibir tipisnya merekah bagaikan bunga mekar di musim semi. Ku peluk erat tubuhnya. Erat sekali. Tetesan air matanya terasa membasahi punggungku.

Narsih berasal dari keluarga yang kurang mampu, bapaknya seorang buruh tani yang sering sakit-sakitan. Sedang ibunya berjualan sayur di kota, tapi sekarang sudah tidak berjualan lagi karena harus merawat bapaknya. Narsih anak sulung dari tiga saudara, kedua adiknya masih kanak-kanak, yang pertama baru menginjak usia enam tahun, tidak sekolah, dan yang terakhir usia balita berumur 1,5 tahun. Karena keadaan, mau tidak mau ia harus menjadi tulang punggung keluarganya. Untuk memperpanjang nafas kehidupan keluarga, Narsih menjual rumput laut kepada tengkulak dengan harga yang murah, Rp. 3000 per Kilogram, seminggu ia bisa memperoleh penghasilan sebesar 30.000 – 50.000 Rupiah, jelas saja penghasilan Narsih tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, apalagi adiknya yang paling kecil masih sangat membutuhkan susu.

Narsih perempuan satu-satunya di desanya yang berhasil menamatkan sekolah hingga ke jenjang SLTA, biaya sekolah ia peroleh dari hasil keringatnya sendiri dengan berjualan nasi bungkus di sekolahnya dan dari hasil penjualan rumput laut. karena prestasinya di sekolah ia mendapat keringanan biaya pendidikan. Bermodalkan ijazah SLTAnya itu ia nekad berangkat ke Jakarta berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kebetulan di Jakarta ada teman sedesanya yang bersedia membantu mencarikan pekerjaan untuknya, dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik. Demi orang tua dan adik-adiknya, Narsihpun pergi, meninggalkan ombak laut selatan, pantai yang berpasir putih bersih dan dikelilingi bukit-bukit kecil, meninggalkan kerang-kerang dan rumput lautnya, serta nyanyian burung di waktu pagi, Narsihpun harus meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Entah, apakah bisa ia temukan atau tidak suasana seperti ini di Jakarta, yang jelas ia membawa sejuta harapan.

.

*****

Aku masih rebah di atas pasir, bayangan Narsih belum berlalu, ia masih setia di ingatanku. Aku merindukannya. “Narsih, seandainya saat ini kau ada di sini, kan ‘ku peluk erat dirimu, tak akan aku biarkan dirimu pergi lagi jauh dariku.Kan ‘ku himpun sejuta kata maaf untukmu. Maafkan aku Narsih Setelah sekian lama perpisahan, aku belum bisa menemuimu. Hingga saat ini aku belum menyelesaikan studiku.”. Tak terasa kedua bola mataku basah oleh air mata.Air mata kerinduan.Airmata penyesalan “Satu hal yang harus kau ketahui aku sangat merindukanmu”.

Gemuruh ombak, begelegar pecah menghantam karang. Angin laut membelai, menggoyang reranting dan dedaunan. Para wisatawan asik bermain-main dengan ombak, sesekali tertawa, sesekali berteriak histeris. Tak sengaja mataku menangkap mobil mewah berwarna hitam, bergoyang-goyang. Tak terlihat orangnya, namun aku yakin ada orang di dalamnya sedang melakukan sebuah aktivitas. Tiba-tiba ide nakal menggelitik otakku. Jika benar terjadi aktivitas seperti apa yang aku bayangkan, maka akan aku abadikan dengan camera digital yang aku bawa. Lumayan untuk sekadar oleh-oleh pulang ke Jogja. Perlahan-lahan, mengendus-endus penuh kehati-hatian, aku melangkah mendekati mobil, menyelinap hingga tepat berada dibawah jendela samping mobil. Mataku ekstra awas, jangan sampai ada yang melihat pergerakanku. Samar-samar aku bisa mendengar suara desah nafas dua orang dari arah dalam. Aku persiapkan camera. Dengan sangat pelan aku berdiri tepat di samping jendela mobil, posisi camera siap mebidik. Ketika camera pada posisi zoom. betapa terkejutnya aku. Darahku tiba-tiba naik, mengalir sangat deras, bergelega-gelegak, jantungku berdegub sangat kencang. Hatiku bagai terkoyak-koyak hingga tak ada bentuk. Kurang ajar!!! Aku sangat mengenali orang yang ada di dalam mobil. Ia orang yang selama ini aku rindukan, orang yang aku cintai asyik bercinta dengan seorang laki-laki tua. Dan yang lebih menyakitkan lagi, laki-laki tua itu ternyata suami ibuku. Kemarahanku mencapai titik kulminasi. Aku lepas kontrol, mengamuk, membabi buta seperti orang kerasukan. Dan kemudian aku lunglai, terjatuh tak sadarkan diri, setelah itu tidak tahu lagi apa yang terjadi.

*****

Di mana aku?! Mengapa aku harus di ikat seperti ini, apa yang telah terjadi?! Di mana Narsih?! Di mana laki-laki tua itu?! Narsih…. Narsih..!!! Bantu aku Narsih. Lepaskan..!!!

Aku berteriak keras, sambil meronta-ronta. Orang-orang yang ada di dekatku segera menahan pergerakanku yang berusaha melepaskan diri dari ikatan. Aku terlentang di atas ranjang berseprai warna putih. Tangan dan kakiku diikat pada sisi kiri dan kanan ranjang.

Maaf, sekarang anda berada di Rumah Sakit, kemaren di tepi pantai bahkan sampai sekarang anda mengamuk-ngamuk membabi buta”. Kata seorang laki-laki tegap berjaket hitam. Ternyata dia seorang polisi yang berpakaian preman.

Di mana Narsih?! Aku ingin bertemu dengannya”. Tanyaku berharap.

Dia dan suaminya telah tewas”. Jawab laki-laki itu, singkat.

Tiba-tiba seluruh ototku meregang, tubuhku terasa kaku. Jantung serasa berhenti berdetak. Bola mataku terbelalak, tak mampu berkedip. Hanya bayangan Narsih yang ada di hadapanku.Aku meradang.

NARSIIHHHH………!!!




Iman Kurnuawan

Yogyakarta, 110807

No comments:

Back To Top