Header Ads

Friday, June 3, 2011

Catatan Singkat Tentang Teater Roeang 28 Psikologi UAD

TEATER ROEANG 28 Fakultas Psikologi mulai berdiri sekitar pertengahan tahun 2000 atau pada bulan Agustus. Pada bulan itu, anggota teater yang terdiri dari sekitar 30 orang sudah mulai melakukan latihan rutin, dibimbing Mantan Mahasiswa Psikologi UAD, Wage Daksinarga (Penulis naskah drama berbahasa Jawa). Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2000, Teater Roeang 28 melakukan pentas perdananya, bekerjasama dengan BEMF Psikologi pada sebuah kegiatan Kampanye Anti Narkoba di perempatan SMA Muhammadiyah 2 Jalan Kapas, Semaki, Yogyakarta. Pada saat itu, BEMF Psikologi sebagai penyelenggara dan penanggungjawab acara diserahkan kepada Teater Roeang 28, sekaligus mendaklarasikan berdirinya teater Roeang 28 (28 Oktober 2000).


Teater 28, Cikal Bakal Teater Roeang 28

Sebelum berdiri Teater Roeang 28 Fakultas Psikologi, tahun 1998 di UAD pernah berdiri Komunitas Teater bernama Teater Roeang, yang kemudian teater ini mengalami kevakuman di tahun 1998, sebelum benar-benar dapat mengibarkan bendera eksistensinya, teater ini kemudian mengalami kevakuman dan berhenti total di tahun 1999. Anggota Teater Roeang, yang terdiri dari berbagai mahasiswa di UAD mencari jalannya sendiri-sendiri. Mereka yang tetap memilih berada di jalur teater untuk mengekspresikan ide berkeseniannya, kemudian membentuk Komunitas Teater yang baru, berdirilah Komunitas Teater 42 Fakultas Sastra tahun 1999.

Tahun 2000 berdirilah Komunitas Teater 28 Fakultas Psikologi. Pemberian nama "28", hanya karena teater ini dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober. Teater 28 inilah cikal bakal berdirinya Teater Roeang 28. Hingga akhirnya sekitar bulan Desember tahun 2000, Teater 28 mengalami penambahan nama dibagian depan menjadi Teater Roeang 28. Mengapa? Karena pertimbangannya saat itu di IST Akprind terdapat Komunitas Teater yang juga bernama 28. Untuk menghindari persamaan nama itu, Teater 28 Fakultas Psikologi menjadi Teater Roeang 28 hingga saat ini.

Pemilihan nama Roeang, dengan harapan komunitas ini mampu menjadi ruang ekspresi, ruang tempat berkarya, ruang eksperimen, ruang pergesekan pengetahuan dan ruang laboratorium bagi mahasiswa Psikologi khususnya dan mahasiswa UAD umumnya. Ironisnya, entah karena pengaruh nama atau karena hal lainnya, teater Roeang 28 yang sesaat lagi memasuki usia 11 tahun belum juga memiliki ruang sekretariatnya sendiri. Walaupun bukti karya sudah ditunjukkan komunitas yang bernama Teater Roeang 28 ini.


BEMF Dirikan Teater Roeang 28

Teater Roeang 28 didirikan oleh BEMF Psikologi UAD. Inisiatif mendirikan komunitas teater ini datang dari Ketua BEMF Psikologi pada masa itu, yang akrab disapa dengan panggilan Ai, serta beberapa pengurus BEMF. Rencana Ai ini mendapat respon positif mahasiswa Psikologi UAD, terutama kawan-kawan dekatnya yang rata-rata jebolan dari Komunitas Teater Roeang (teater tahun 1998). Pendiri teater Roeang 28 diantaranya, Ai, Gun, Alm. Ari alias Si Mbah, Arifin alias Item, Wage Daksinarga dan beberapa orang lainnya. Mulailah dibuka pendaftaran Teater tahun 2000, alhasil pada latihan pertama anggota teater Roeang 28 kurang lebih berjumlah 30 orang.(**)


Roeang 28, Teater UAD Yang Pertama Pentas di TBY

Hal yang menjadi catatan penting, Teater Roeang 28 Fakultas Psikologi adalah komunitas teater di UAD yang pertama kali menggelar pentas produksi di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), berjudul Malam Jahanam karya Motinggo Busye Sutradara Khairul Anwar dibimbing Wage Daksinarga. Pada saat itu, jika pagelaran dipentaskan di TBY merupakan suatu kebanggan sendiri bagi sebuah komunitas kesenian dan disebut-sebut sebagai komunitas yang diperhitungkan. Sebab, masuk dalam peta perteateran Yogyakarta.

Para pemain yang memerankan tokoh dalam naskah yang dengan setting tempat di pesisir pantai itu diantaranya, Azharul Fuadi alias Aas sebagai Mat Kontan, Beni Ikhsan alias Iben (sejak kapan ada Nuriska?) sebagai Soelaiman, Surya alias Oyak sebagai Tukang Pijat, Endah kemayu alias Ijah dan Hapid (pacar Hani) sebagai Utai. Pimpinan Produksi Iman Kurniawan. Pementasan ini mendapat dukungan dari berbagai sponsor dan donatur seperti GKR Hemas, Walikota, para dosen psikologi salahsatunya ibu Meta. Dosen Ekonomi, Rektor dan terpenting dukungan BEMF Psikologi. Saat itu Teater Roeang 28 diketuai si kuda liar dari Sumbawa, Yudi Surya Utama.

Saat itu, untuk menuju ke TBY tidaklah mudah. Berbagai haling rintangan kerap datang ditengah-tengah proses garapan Malam Jahanam. Mulai dari konflik antar personil teater Roeang 28, ketidak konsistenan pemain yang akhirnya bongkar pasang pemeran, hingga minimnya anggaran. Namun, tantangan untuk tetap menggelar pentas produksi di TBY, menjadikan semangat untuk tetap melanjutkan pentas. Jadilah teater ini, teater di UAD yang pertama kali mempresentasikan karyanya di TBY pada tahun 2002.

Waktu itu, latihan yang dilakukan menjelang pentas produksi Malam Jahanam, dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan. 3 bulan latihan untuk mengisi malam pentas yang digelar Komunitas Teater 42 di auditorium Kampus I UAD, kemudian teater Roeang 28 melanjutkan latihan hingga 3 bulan diawali dengan work shop teater di Pantai Ngobaran dan Renehan di Kabupaten Gunung Kidul.

Sebulan menjelang pentas, latihan dilakukan hampir setiap hari, mulai pukul 18.30 WIB hingga pukul 23.00 WIB, tidak jarang sampai pukul 24.00 WIB. Tidak hanya malam hari, latihan juga sering dilakukan siang hari.

Setiapkali ingin berkumpul, pengurus teater tidak menggunakan HP, tapi dengan cara menempelkan pengumuman di papan pengumuman. Semangat berlatih sangat tinggi. Personil tidak ragu-ragu berjalan kaki dari Kampung Glagah Sari menuju Kampus I UAD, ada juga yang berjalan kaki, sebab hanya sedikit waktu itu yang menggunakan kendaraan roda 2. Cerita dibalik produksi Malam Jahanam ini pun beraneka macam, mulai dari konflik hingga ke kisah cinta lokasi (cinlok).(**)

KETUA TEATER ROEANG 28

Tahun Ketua

2000-2001 Alm. Ari Si Mbah

2001-2002 Yudi Surya Utama

2002-2003 Isnaini (Iis)

2003-2004 Iman Kurniawan

2004-2005 Arie Wibowo

2005-2006 Jali

2006-2007 Rika Febriani

2007- Langgeng


Hubungan Teknik Pelatihan Teater dan Psikologi

Keinginan BEMF pada masa itu mendirikan komunitas teater bukan tanpa alasan. Mereka sadar, bahwa proses teater berhubungan erat dengan ilmu psikologi. Hanya saja, hingga saat ini belum ada gebrakan dari awak Teater Roeang 28 yang mencoba menuliskan atau mencoba mengambil satu poin dari teknik pelatihan teater ke dalam aplikasi psikologi.

Namun, seorang pantomimer asal Yogyakarta, Ende Riza, yang notabene bukan lulusan dari Fakultas Psikologi telah mengaplikasikan teknik pelatihan teater ke ranah psikologi. Laki-laki yang akrab disapa Riza itu, akhirnya kerap diundang sebagai motivator dan pendongeng diberbagai daerah, seperti Bandung, Kalimantan dan sebagainya.

Riza menggunakan teknik gerak, yang mampu membuat peserta mengalami titik katarsis. Metode itu pernah diterapkannya saat memberikan pelatihan di Komunitas Teater Roeang 28. Di samping itu, dengan gerakan-gerakan unik yang diciptakan Riza, mampu memberi spirit dan semangat bagi peserta pelatihan. Riza mengajak peserta tertawa, marah, bahagia dan bahkan menangis.

Berikut motode Ende Riza yang dituliskan Harian KOMPAS

Gerak, Penumbuh Motivasi Perubahan

Tubuh manusia memiliki potensi dan kekuatan yang luar biasa. Terkadang seseorang tak menyadari bahwa kekuatan terbesar justru datang dari dalam tubuh ketika hati dan pikiran mengendalikan gerakan tiap anggota tubuh, sekecil apa pun gerakan itu.

Tak hanya sekadar berpindah posisi, tubuh beserta semua gerakannya dapat menjadi kekuatan yang mampu menumbuhkan motivasi seseorang. Seni gerak pun banyak dipakai dalam pelatihan atau kegiatan-kegiatan perkembangan psikologis seseorang.

Seperti Kamis pekan lalu, Life Identity Institute memanfaatkan seni gerak dan teater sebagai media penumbuh motivasi bagi mereka yang hadir di aula Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DI Yogyakarta.

Selama hampir dua jam, sekitar 20-an orang ikut dalam kegiatan bertajuk "Katarsis di Tengah Krisis Menuju Indonesia Baru" itu.Pembacaan puisi mengenai berita duka ditemukannya sebuah dompet kulit warna hitam sebagai representasi bangsa Indonesia, mencoba menggiring semua yang hadir pada kondisi sosial aktual Indonesia. Tak lama kemudian, sambil bergandeng tangan, semua penonton menyanyikan lagu Ilir-ilir. Di tengah-tengah lagu, sambil tetap bergandengan tangan, mereka diajak berdiri dan membentuk lingkaran.

Dari lingkaran itulah proses psikologis dimulai. Seniman Endi Reza dari Life Identity Institute memimpin jalannya proses tersebut. Sedari awal peserta diingatkan bahwa mereka tidak akan berubah tanpa adanya kesadaran diri untuk berubah. Perubahan pun tak akan terjadi jika bukan diri sendiri yang mengubahnya.

Para peserta yang bergabung dalam lingkaran itu sendiri berasal dari berbagai latar belakang, seperti pekerja seks, homoseksual, mahasiswa, relawan, dan mereka yang sering berkumpul dan berkegiatan bersama PKBI DIY. Dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki, para peserta tersebut didorong untuk membuang segala sesuatu yang menjadi penghambat keyakinan diri.

Dan segala sesuatu pun dimulai dari hal yang sederhana. Siang itu senyum yang menjadi pengawal proses penemuan dan pembangkitan kepercayaan diri. Jangan salah, senyum pun bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Reza pun mendorong para peserta untuk tak sekadar menggerakkan bibir mereka. Lebih dari itu, dengan ikhlas menjiwai senyuman dengan hati yang riang. Ketika dimulai dari hati, senyum pun akan disertai dengan ekspresi kegembiraan. Mereka mencobanya dan perlahan-lahan suara tawa pun menyertai senyum-senyum baru mereka. Hati riang, beraktivitas akan semakin ringan.

Dalam suasana hati yang sudah lebih ringan, Reza lalu menceritakan kisah pemburu yang selalu berburu dengan penuh keyakinan. Ia tak pernah putus asa sebelum mampu membawa pulang binatang. Ia pun punya keberanian untuk mencoba hal-hal baru meski terkadang dilakukan secara terburu-buru tanpa persiapan matang.

Diceritakan pula mengenai kisah sepasang sahabat petani dan pemburu yang sama-sama ingin bertukar pekerjaan karena tak merasa puas dengan apa yang dimiliki dan merasa apa yang dihasilkan rekannya lebih baik. Dari kedua cerita itu peserta dimotivasi untuk belajar menanggapi, bukan bereaksi terhadap situasi hidup.

Untuk menanggapi situasi hidup ini, seseorang harus memiliki semangat hidup yang bisa muncul dari berbagai hal, antara lain dari gerakan. Mendalami semangat dalam gerak ini, Reza mencontohkan bagaimana kekuatan dapat dilihat dari gerak yang ia peragakan melalui pantomim. Seorang peserta pun diminta memeragakan kegiatan yang dilakukan di dalam kamar mandi.

Dari peragaan gerak pantomim tersebut, para peserta dapat melihat bagaimana semangat mampu membuat kekuatan dan gerak dapat dimaknai. Orang-orang di sekeliling akan kesulitan membaca makna di balik gerakan ketika dilakukan secara asal-asalan dan tanpa tenaga. Bagi seseorang sendiri, gerak yang dilakukan dengan

penuh daya dan semangat akan memberi kekuatan dan motivasi lebih untuk menyelesaikan apa yang dikerjakan.

Setelah penumbuhan motivasi melalui cerita dan praktik gerak bermakna, peserta memasuki kegiatan bedah jiwa. Dengan iringan musik, baik yang berasal dari alat musik maupun bagian tubuh seperti kaki dan tangan yang memengaruhi emosi, para peserta didorong untuk menyemangati diri mereka sendiri. "Percaya bisa" kata-kata itu terus dilafalkan, dari irama tenang sampai mengentak penuh semangat.

Setelah termotivasi dalam luapan emosi, para peserta kembali ditenangkan dengan renungan dalam suasana yang lebih santai. Mereka kembali diingatkan bahwa pilihan untuk mengubah hidup ada di tangan mereka masing-masing. Mereka sudah diyakinkan bahwa mereka mampu dan memiliki kepercayaan diri, selanjutnya mereka sendiri yang harus mengangkat kaki untuk melangkah. "Sebelumnya, saya banyak memikirkan pandangan-pandangan masyarakat yang menjengkelkan. Akan tetapi, sekarang saya bisa menerima diri saya

sendiri. Pasti ada yang positif dari diri saya dan saya nggak akan bermimpi lagi untuk menjadi orang lain," tutur Uki, salah seorang peserta usai acara. Ia percaya bahwa semangat yang dikeluarkannya lewat gerak mampu menguatkan dan mengubah dirinya. (AB3) (Kompas, Rabu, 07 Maret 2007)

Apa yang dilakukan Ende Riza adalah bukti begitu kuatnya hubungan teater dengan psikologi, bahkan yang melakukannya bukan orang yang berlatar belakang psikologi. Mungkin, ini bisa menjadi pertimbangan BEMF Psikologi, para dosen serta dekanat Fakultas Psikologi untuk tidak memandang sebelah mata keberadaan Komunitas Teater Roeang 28. Artinya, keberadaan komunitas teater Roeang 28, disamping sebagai media ekspresi berkesenian, Roeang 28 juga selayak mendapat dukungan agar dari Komunitas ini, di UAD bermunculan seseorang yang selepasnya dari UAD telah dibekali kemampuan dengan motiviasi yang tinggi ketika hidup di tengah masyarakat.

Fakta di lapangan, ketika mahasiswa diterjunkan ke masyarakat melalui program (proyek) tahunan kampus yang bernama Kuliah Kerja Nyata (KKN) –Konon program ini menjadi ladang “KKN” dalam arti lainnya—mahasiswa yang memiliki bekal teater cenderung lebih disenangi masyarakat. Sebab, aktivis teater memiliki ide yang lebih kreatif dan tidak sama dengan mahasiswa lainnya, yang lebih menerapkan program yang mononton dan selalu sama dari tahun ke tahunnya. Boleh tanya kepada mahasiswa yang sudah menjalani KKN. Bagaimana program mahasiswa yang bukan dari latar belakang teater. Kecendrungan program yang diterapkan di masyarakat hanya itu-itu saja.(**)

No comments:

Back To Top