Header Ads

Monday, May 25, 2009

MEMPOPULERKAN PANTOMIME


Pantomime sebagai salah satu seni pertunjukan yang berusia tua, hingga saat ini ia masih tetap bertahan, namun bisa saya katakan hidup segan matipun tak mau. Saat ini berapa banyak orang yang menekuni pantomime sebagai profesi? Berapa banyak komunitas yang dengan sengaja memproduksi pertunjukan pantomime? Jogjakarta sebagai barometer kesenian saat ini, mungkin hanya punya Jemek Supardi dan mime teaternya, juga Bengkel Pantomime yang masih terdengar kabar eksistensinya pada dunia pantomime. Mengapa geliat pantomime terasa lemah? Detak jantungnya berdetak sangat lamban. Suatu ketika pada saat Jemek Supardi 'mentas' dapat dilihat berapa orang yang hadir, datang menyaksikan pertunjukannya. Sedangkan harga tiketnya relatif murah untuk ukuran seorang 'Maestro'. Mungkin orang tidak begitu antusias untuk menyaksikan pertunjukan pantomime. Mengapa? mungkin karena Jemek Supardi bukanlah sosok yang populer, sehingga tidak begitu sesak orang datang untuk menyaksikan pertunjukannya. Bisa kita bayangkan jika bukan Jemek Supardi yang 'mentas.
Coba kita bandingkan pada group band cengeng yang akhir-akhir sering menghias layar kaca. Pada saat manggung, penontonnya berjubel, orang-orang rela berdesak-desakan bahkan sampai ada yang pingsan. Padahal kita tahu, dan semua orang tahu bagaimana kualitas bermusik mereka, jauh dari harapan. Bahakan ada group band yang terang-terangan tanpa malu-malu melakan plagiat, namun penggemarnya seakan tidak perduli, tetap mengidolakan mereka. Mereka begitu digandrungi. Bahkan disadari atau tidak seseorang yang tadinya tidak suka menjadi latah ikut menyanyikan lagu mereka. Mengapa sebab, hal tersebut tidak lain hanya permainan sang produser yang menciptakan sebuah pasar. Produser melakukan promosi besar-besaran dan mungkin melebih-lebihkan. Tujuannya keuntungan. Lagu mereka menjadi populer, karena kita begitu sering mendengar lagu mereka lewat layar kaca, radio, bahkan di tempat-tempat umum dan angkutan umum sekalipun. Masyrakat secara tidak sadar telah dipaksa untuk mendengar dan kemudian menjadi terbiasa dan parahnya menjadi penggemar yang fanatik.

Kita juga tahu, bagaimana pada saat teater Gandrik mentas. Penontonnya berjubel, bahkan sesak. Walaupun tiketnya cukup mahal. Kalau kita mau jujur, penonton yang datang bukan karena ingin menyaksikan Teater Gandrik, atau karena kepopuleran Teater Gandriknya, namun karena di komunitas dan pada saat pertunjukan ada sosok yang sudah sangat kita kenal yang berperan, Ia begitu populer, sering menghiasi program acara di televisi. Di Teater Gandrik ada nama Butet Kertarejasa, Djaduk Ferianto, Heru Kesawamurti. Bagitu pula halnya jika tetater Dinasti 'mentasa di sana ada nama Kya Kanjeng dan Cak Nun, juga Novia Kolopaking. Coba sendainya tidak ada mereka yang memang sudah populer itu. Tentunya sebelum pertunjukan Komunitas tersebut melakukan Promosi yang hampir menyeluruh, karena di dukung oleh sponsor besar. Mengapa sponsor besar tersebut mau menyesponsori? Karena kepopuleran orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Kita juga masih ingat, ketika booming film nasional kembali bangkit lewat film "Ada Apa Dengan Cinta" ( AADC) sutradara Rudy Sujarwo. Film tersebut muncul disaat film nasional mengalami kelesuan. AADC mampu menyedot ribuan bahkan Jutaan penonton seluruh Indonesia. Kemudian bermunculanlah film-film nasional lainnya yang menyusul kesuksesannya. Bagaimana film AADC mencuat disaat lesunya film nasional? Kita masih ingat betul bagaimana promosinya yang besar-besaran, tepat sasaran. Di jalan-jalan, kita lihat Balihonya, sepanduknya. Di layar kaca kita lihat iklannya, di radio kita dengar suaranya. Soundtracknya di bawakan oleh Melly Gouslow yang populer sebagai seorang Musisi (vocalis). Masyarakatpun menjadi penasaran dan memang sudah merindukan sebuah film karya anak negeri, sebagai media hiburan yang saat itu langka film nasional.


Bagaimana dengan pantomime? mengapa pantomime jarang sekali atau tidak pernah muncul di layar televisi sebagai salah satu program televisi. Sebagaimana dulu ada Septian Dwi Cahyo yang sangat populer hingga anak-anak (pada masa itu) mengenalnya. Saya salah satu penggemar acaranya (waktu itu di TVRI). Apakah sekarang ada Stasiun televisi yang bersedia menyediakan ruang atau sapace buat acara pantomime? jawababannya, mereka tidak mau rugi. Padahal mereka belum mencobanya. Kita membutuhkan seorang donatur yang perduli pada nasib pantomime dan seniman pantomime, yang bersedia menjadi produser untuk mendanai hingga pantomime menjadi populer layaknya film Nasional kita. Sehingga bermunculanlah aktor-aktor muda pantomime, sebagaimana bermunculannya band-band baru dan aktor-aktor baru yang kerap muncul di televisi. Kita tidak perlu lagi berfikir bahwa industri atau televisi adalah sesuatu yang tabu, mau tidak mau kita harus memanfaatkannya sebagai media untuk mempopulerkan dan mengenalkan pantomime. Bukan sebagai tempat untuk menjadi selebrtitas. Apakah kita dapat menjamin, setelah Jemek Supardi akan ada seseorang yang memilih pantomime sebagai profesi? Mungkin boleh sedikit nyeleneh, suatu saat orang-orang begitu menggilai pantomime, marak casting-casting pantomime. Banyak orang yang begitu minatnya menjadikan pantomime sebagai profesi, sebagaimana orang sangat berminat menjadi aktor film. Terlepas dari itu semua, seniman pantomime harus tetap semangat, dan tetap eksis. Walau badai begitu kencangnya, terus berkarya dan anak-anak itu akan kembali lahir, tumbuh menjadi besar, membawa sesuatu yang baru untuk kejayaan pantomime.
Salam Budaya.
Back To Top